24 Maret, 2009

Hukum Pemilu Legislatif dan Presiden

[Al-Islam 448] Tidak lama lagi, Indonesia kembali akan menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Pemilu kali ini, selain untuk memilih anggota legislatif, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat dan Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), juga memilih Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan Anggota Legislatif akan diselenggarakan pada 9 April 2009. Pemilihan Presiden akan diselenggarakan pada awal Juli 2009 untuk putaran pertama, dan pertengahan September 2009 untuk putaran kedua.

Berdasarkan undang-undang dasar maupun undang-undang yang ada, anggota legislatif memiliki tiga fungsi pokok: (1) fungsi legislasi untuk membuat UUD dan UU; (2) melantik presiden/wakil presiden; (3) fungsi pengawasan, atau koreksi dan kontrol terhadap Pemerintah. Adapun Presiden secara umum bertugas melaksanakan Undang-Undang Dasar, menjalankan segala undang-undang dan peraturan yang dibuat.

Berdasarkan fakta ini, hukum tentang Pemilu di Indonesia bisa dipilah menjadi dua: Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.
Pemilu Legislatif

Pemilu Legislatif pada dasarnya bisa disamakan dengan wakalah, yang hukum asalnya mubah (boleh) berdasarkan hadis Nabi saw.:

«وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: اَرَدْتُ الْخُرُوْجَ اِلىَ خَيْبَرَ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ: إِذَا أَتَيْتَ وَكِيْلِيْ بِخَيْبَرَ فَخُذْ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَ وَسَقًا»

Jabir bin Abdillah ra. berkata, Aku hendak berangkat ke Khaibar, lalu aku menemui Nabi saw. Beliau bersabda, “Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah olehmu darinya lima belas wasaq.” (HR Abu Dawud).

Dalam Baiat ‘Aqabah II, Rasulullah saw. juga pernah meminta 12 orang wakil dari 75 orang Madinah yang menghadap beliau saat itu, yang dipilih oleh mereka sendiri.

Kedua hadis di atas menunjukkan bahwa hukum asal wakalah adalah mubah, selama rukun-rukunnya sesuai dengan syariah Islam. Rukun wakalah terdiri dari: dua pihak yang berakad (pihak yang mewakilkan/muwakkil) dan pihak yang mewakili/wakîl); perkara yang diwakilkan atau amal yang akan dilakukan oleh wakil atas perintah muwakkil; dan redaksi akad perwakilannya (shigat taukîl).

Jika semua rukun tersebut terpenuhi maka yang menentukan apakah wakalah itu islami atau tidak adalah amal atau kegiatan yang akan dilakukan oleh wakil.

Terkait dengan anggota legislatif, hukum wakalah terhadap ketiga fungsi pokoknya tentu berbeda. Wakalah untuk membuat perundang-undangan sekular dan wakalah untuk melantik presiden/wakil presiden yang akan menjalankan sistem sekular tentu berbeda hukumnya dengan wakalah untuk melakukan pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap pemerintah.

Berkaitan dengan fungsi legislasi, setiap Muslim yang mengimani Allah SWT wajib menaati syariah Islam yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah; baik dalam kehidupan pribadi, keluarga maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Allah SWT telah menegaskan:

Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah (QS Yusuf [12]: 40).

Allah SWT juga menyatakan bahwa konsekuensi iman adalah taat pada syariah-Nya (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 65; al-Ahzab [33]:36). Tidak boleh seorang Muslim mengharamkan apa yang telah Allah halalkan atau menghalalkan apa yang telah Allah haramkan. Tentang hal ini, Adi bin Hatim ra. berkata: Saya pernah mendatangi Nabi saw. ketika beliau sedang membaca surah Bara’ah:

Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam (QS at-Taubah [9]: 31).

Beliau bersabda, ”Mereka memang tidak menyembah para alim dan para rahib mereka. Namun, jika para alim dan para rahib mereka menghalalkan sesuatu, mereka pun menghalalkannya. Jika para alim dan para rahib mereka mengharamkan sesuatu, mereka pun mengharamkannya.” (HR at-Tirmidzi).

Karena itu, menetapkan hukum yang tidak bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah adalah perbuatan yang bertentangan dengan akidah Islam, bahkan dapat dikategorikan sebagai perbuatan menyekutukan Allah SWT.

Dengan demikian, wakalah dalam fungsi legislasi yang akan menghasilkan hukum atau peraturan perundangan sekular tidak boleh, karena hal tersebut merupakan aktivitas yang bertentangan dengan akidah Islam.

Wakalah untuk melantik presiden/wakil presiden juga tidak boleh, karena wakalah ini akan menjadi sarana untuk melaksanakan keharaman, yakni pelaksanaan hukum atau peraturan perundangan sekular yang bertentangan dengan syariah Islam oleh presiden/wakil presiden yang dilantik tersebut. Larangan ini berdasarkan pada kaidah syariah yang menyatakan:

(اَلْوَسِيْلَةُ اِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ)

Wasilah (perantaraan) yang pasti menghantarkan pada perbuatan haram adalah juga haram.

Adapun wakalah dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan, koreksi dan kontrol terhadap Pemerintah adalah boleh selama tujuannya untuk amar makruf nahi mungkar. Wakalah semacam ini merupakan wakalah untuk melaksanakan perkara yang dibenarkan oleh syariah Islam.

Namun demikian, harus ditegaskan bahwa pencalonan anggota legislatif dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan dibolehkan sepanjang memenuhi syarat-syarat syar’i, bukan dibolehkan secara mutlak. Syarat-syarat tersebut adalah:

1.
Harus menjadi calon dari partai Islam, bukan dari partai sekular. Dalam proses pemilihannya tidak menempuh cara-cara haram seperti penipuan, pemalsuan dan penyuapan, serta tidak bersekutu dengan orang-orang sekular.
2.
Harus menyuarakan secara terbuka tujuan dari pencalonan itu, yaitu untuk menegakkan sistem (syariah) Islam, melawan dominasi asing dan membebaskan negeri ini dari pengaruh asing. Dengan kata lain, calon wakil rakyat itu menjadikan parlemen sebagai mimbar (sarana) dakwah Islam, yakni menegakkan sistem Islam, menghentikan sistem sekular dan mengoreksi penguasa.
3.
Dalam kampanyenya harus menyampaikan ide-ide dan program-program yang bersumber dari ajaran Islam.
4.
Harus konsisten melaksanakan poin-poin di atas.

Pemilu Presiden

Pemilu Presiden berbeda dengan Pemilu Legislatif. Presiden bukanlah wakil rakyat; kepadanya tidak bisa diberlakukan fakta wakalah. Dalam hal ini lebih tepat dikaitkan dengan fakta akad pengangkatan kepala negara (nashb al-ra’is) yang hukumnya terkait dengan dua hal: person (orang) dan sistem.

Terkait dengan person, Islam menetapkan bahwa seorang kepala negara harus memenuhi syarat-syarat in’iqâd, yang akan menentukan sah-tidaknya seseorang menjadi kepala negara. Syarat-syarat itu adalah: (1) Muslim; (2) Balig; (3) Berakal; (4) Laki-laki; (5) Merdeka; (6) Adil/tidak fasik; (7) Mampu (yakni mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sebagai kepala negara). Tidak terpenuhinya salah satu saja dari syarat-syarat di atas, membuat pengangkatan seseorang menjadi kepala negara menjadi tidak sah.

Adapun tentang sistem, harus ditegaskan bahwa siapapun yang terpilih menjadi kepala negara wajib menerapkan sistem Islam. Ini adalah konsekuensi dari akidah seorang kepala negara yang Muslim. Dalam Islam, tugas utama kepala negara adalah menjalankan syariah Islam serta memimpin rakyat dan negaranya dengan sistem Islam. Memimpin dengan sistem selain Islam tidak akan menghasilkan kebaikan, tetapi justru menghasilkan kerusakan dan bencana. Siapa saja yang memimpin tidak dengan sistem Islam, oleh Allah SWT disebut sebagai fasik dan zalim, bahkan jika secara i’tiqadi menolak syariah Islam, dinyatakan sebagai kafir (Lihat: QS al-Maidah [5]: 44, 45, 47).

Wahai kaum Muslim:

Sikap yang semestinya harus ditunjukkan oleh setiap Muslim dalam menghadapi Pemilu ini adalah:

1.
Tidak memilih calon yang tidak memenuhi syarat dan ketentuan di atas; tidak mendukung usahanya, termasuk tidak mendukung kampanyenya dan mengucapkan selamat saat yang bersangkutan berhasil memenangkan pemilihan.
2.
Melaksanakan syariah Islam secara utuh dan menyeluruh dengan konsisten; berjuang dengan sungguh-sungguh untuk mengubah sistem sekular ini menjadi sistem Islam melalui perjuangan yang dilakukan sesuai dengan tharîqah dakwah Rasulullah saw. melalui pergulatan pemikiran (as-shirâ’ al-fikri) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsi). Perjuangan itu diwujudkan dengan mendukung individu, kelompok, jamaah, dan partai politik yang secara nyata dan konsisten berjuang demi tegaknya syariah dan Khilafah; serta menjauhi individu, kelompok, jamaah dan partai politik yang justru berjuang untuk mengokohkan sistem sekular.
3.
Secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan kritik dan koreksi terhadap para penguasa atas setiap aktivitas dan kebijakan mereka yang bertentangan dengan syariah Islam; tidak terpengaruh oleh propaganda yang menyatakan bahwa mengubah sistem sekular dan mewujudkan sistem Islam mustahil dilakukan; tidak boleh ada rasa putus asa dalam perjuangan karena dengan pertolongan Allah, insya Allah perubahan ke arah Islam bisa dilakukan, asal perjuangan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Yakinlah, Allah SWT pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya, khususnya dalam usaha mewujudkan tegaknya kembali Khilafah guna melanjutkan kembali kehidupan Islam (isti’nâfu al-hayâh al- Islâmiyah), yaitu kehidupan yang di dalamnya diterapkan syariah Islam dan risalah Islam diemban ke seluruh dunia dengan kepemimpinan seorang Khalifah. Khalifah inilah yang akan menyatukan umat dan negeri-negeri Islam untuk kembali menjadi umat terbaik serta memenangkan Islam di atas semua agama dan ideologi yang ada. Kesatuan umat itulah satu-satunya yang akan melahirkan kekuatan, dan dengan kekuatan itu kerahmatan (Islam) akan terwujud di muka bumi. Dengan kekuatan itu pula kemuliaan Islam dan keutuhan wilayah negeri-negeri muslim bisa dijaga dari penindasan dan penjajahan negeri-negeri kafir sebagaimana yang terjadi di Irak dan Afganistan.
4.
Memilih kepala negara yang mampu menjamin negeri ini tetap mandiri dan merdeka dari cengkeraman penjajah; mampu mewujudkan kemerdekaan yang sesungguhnya, bukan malah membiarkan negeri ini dalam cengkeraman dan dominasi kekuatan asing di segala bidang; mampu meletakkan keamanan negeri ini semata di tangan umat Islam, bukan di tangan warga negara asing; dan tidak membiarkan pengaruh negara penjajah ke dalam institusi tentara dan polisi, apalagi mengijinkan negara asing membuat pangkalan militer di wilayah negeri ini. Sesungguhnya Allah SWT melarang Muslim tunduk pada kekuatan kafir (Lihat: QS an-nisa’ [4]: 141).

Akhirnya, semua berpulang kepada umat Islam, apakah akan membiarkan negeri ini terus dipimpin oleh penguasa zalim dengan sistem sekular dan mengabaikan syariah Islam yang membuat negeri ini terus terpuruk; ataukah memilih pemimpin yang amanah dan menegakkan syariah Islam sehingga kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan benar-benar akan terwujud. Begitu juga, semua berpulang kepada umat Islam, apakah akan membiarkan negeri-negeri Muslim tetap tercerai-berai seperti sekarang dan tenggelam dalam kehinaan; ataukah berusaha keras agar bisa menyatu sehingga ‘izzul Islâm wal muslimîn juga benar-benar terwujud.

Wahai umat Islam! Inilah saatnya. Ambillah langkah yang benar. Salah mengambil langkah berarti turut melanggengkan kemaksiatan! []

Komentar Al-Islam:

Gerakan Golput Hanya Rugikan Umat (Republika, 24/3/2009).

Umat lebih rugi lagi jika Pemilu tidak ditujukan untuk menegakkan syariah Islam secara kâffah.

Tidak ada komentar: